Minggu, 03 Februari 2019

Apa itu Generasi Buih ?

Generasi buih

1 Generasi buih
Tiap generasi itu mempunyai batas waktu kejayaan atau keruntuhannya (QS 7:34). Suatu generasi itu bisa saja ditimpa kehinaan 9(dzillah), hilangnya kemuliaan (‘izzah) (QS 63:8), hilangnya pedoman, hilangnya pegangan (I’tissham) (QS 3:103), tidak diperhitungkan lawan (khauf) (QS 2:155). Tidak lagi memiliki kekuatan meskipun jmlahnya mayoritas, tak bebobot, tak berdaya ka-ghutsaa:is-sail. Mendapat kemurkaan, kemarahan dari Allah (ghadhab), siksaan, ‘azab (mushibah) (QS 42:30), bencana, petaka. Ditimpa kemiskinan (masakanah, kemelaratan, kelaparan (2:155), kesengsaraan. Dilecehkan, direndakan, dihinakan, diperkosa, dibunuh, disembelih, dibantai, diusir, dipinggirkan, disisngkirkan, digusur.
Abu Daud meriwayatkan dari Tsauban, bahwa Rasulullah pernah mengatakan tentang akan datangnya suatu masa, yang umatnya akan diperbutkan, dikeroyok orang berami-ramai, bagaikan hidangan yang tersaji dalam suatu pesta jamuan disantap, diperebutkan oleh orang-orang yang kelaparan. Padahal waktu itu jumlahnya banyak, mayoritas. Tapi kondisinya waktu itu bagaiakan busa, buih yang terapung-apung di atas air. Meskipun banyak, mayoritas, namun sudah diremehkan, dipandang enteng. Lawan-lawannya sudah tak segan lagi, tak gentar lagi, tak takut lagi padanya. Hal ini disebabkan oleh karena sudah lebih mementingkan keduniaan (hubbud-dunya wa karihatil-maut) (KH Firdaus AN : “Detik-Detik Terakhir Kehidupan Rasulullah”, 1983, hal 134).
Kehinaan, musibah, kesengsaraan yang diderita itu disebabkan oleh karena generasi itu putus hubungannya dengan Allah, tidak lagi berpegang pada aturan allah (QS 3:103), tidak lagi menyerahkan diri ke pada Allah, ke pada kehendak allah (QS 9:111), malah menyerahakan diri ke pada kemauan nafsu duniawi (hubbud-dunya wa karahatil-maut). Kufur akan ayat-ayat allah, tidak lagi mengindahkan firman allah (QS 3:118, 2:95, 2:61, 3:21, 4:155). Mendiskreditkan ajaran Rasul, tidak lagi mengindahkan sabda Rasul (QS 2:61, 2:91, 3:21, 4:155). Durhaka, melanggar aturan Allah, berbuat ma’shiat (QS 4:42). Melampaui batas (Y’tadun), tidak mengindahakan batas antara yang khair dan yang syaar, antara yang thaib dan yang khabaits. Putus hubungan dengan ikhwan (disintegrasi), hilangnya kesetiakawanan (desolidarisasi), hilangya kesatuan dan persatuan (QS 3:103), pudarnya rasa ukhuwah. Serba cuek. Cuek dengan panggilan Adzan. Cuek dengan panggilan Qur:an. Cuek dengan panggilan Dakwah. Cuek dengan panggilan Jihad. Cuek dengan ajaran Allah. Cuek terhadap halal, haram. Agama dicuekin, tak dipedulikan, tak dihiraukan, yang tersisa hanyalah namanya saja lagi. Pokoknya serba boleh, asal tujuan tercapai.
Terjadinya perubahan kondisi lahiriyah disebabkan oleh karena berubahnya kondisi batiniyah, nafas, jiwa, semangat, spirit, perilaku, sikap mental dari generasi itu. Allah menyatakan bahwa “yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugeraahkan –Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS 8:53). “Telah nampak kerusakan di darat dan di laaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya allah merasakan, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS 30:41). “apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan seelum mereka, padahal generasi itu telah kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain” (QS 6:6).
Generasi itu tumbuh berkembang, naik ke atas, turun ke bawah, berputar berpusing bagaikan spiral yang mengkerut mengkerucut. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hudzaifah bin Yaman, bahwa Rasulullah pernah menerangkan nanti “sesudah periode kebaikan akan datang periode kejahatan. Sesudah itu akan datang periode kebaikan yang agak keruh (pemimpin-pemimpin tidak menurut Sunnah Rasul). Dan sesudah itu datang lagi periode kejahatan (datangnya penganjur-penganjur ke pintu jahanan)” (Tarjamah Lukluk wal Marjan, jilid II, 1982, hal 718, hadis 1211).
Abu Umamah al-Baahili meriwayatkan dari anas bin malik bahwa Rasulullah pernah memperingatkan nanti “kaum wanita sudah rusak, sudah keluar dari kodrat kewanitaannya, para pemuda sudah rusak moralnya, orang-orang sudah cuek dengan jihad. Bahkan lebih dari itu. Sudah tidak lagi menganjurkan pada kebaikan dan melarang kemunkaran. Bahakan lebih dahsyat dari itu. Sudah menganggap yang baik 9makruf0 itu buruk (munkar), dan yang buruk itu baik. Bahkan paling dahsyat lagi. Justeru sudah menyuruh yang munkar dan melarang yang makruf”. Na’udzubillah min dzalik.
2 Generasi cuek
Imamnya, makmumnya cuek. Pemimpinnya, rakyatnya cuek. Semuanya pada cuek. Cuek terhadap masalah halal haram. Sang Pemimpin sangat mahir mencari-cari dalil, hujah untuk membenarkan, mensahkan pendapatnya. Benar-benar amat pintar. Pintar memelintir. Memelintir yang sudah qath’i menjadi dzanni. Memelintir yang sudah baku menjadi yang diperselisihkan, diperdebatkan. Amat lihai mempermainkan dalil-dalil agama.
Untuk melegalisasi, melegitimasi pendapat sendiri yang menyalahi pendapat umum (ijma’) digunakan kaidah usul fikih, bahwa “siapa yang ijtihad, menafsirkan hukum benar, akan mendapat dua pahala, tetapi yang ijtihadnya salah mendapat satu pahala”. Kaidah usul fikih “menghindari kesulitan lebih utama, dari pada mendatangkan kebaikan” (darul mafasid muqaddam ‘ala jalabil mashaalih) digunakan untuk mengamankan, menyelematkan kehilangan, kerugian penanaman modal asing, penutupan perusahaan asing. Terganggunya investasi asing yang jumlahnya milyaran, dipandang lebih mafasid dari pada timbulnya kebingungan dan keresahan di masyarakat akibat ulah intervensinya dalam bidang yang bukan wewenangnya, mengeluarkan statement blunder (kacau, ngawur).
“Yang paling berwewenang dalam menentukan halal haramnya sebuah produk makanan dan minuman adalah kaum ulama dan ahli syar’iyah”. “Dalam kapasitas selaku kepala anegara tidak berwewenang mengeluarkan pernyataan fatwa tentang halal dan haram suatu produk makanan”.
Ada yang pintar bermain diplomasi menepis timbulnya kebingungan dan keresahan di kalangan masyarakat. Akibatnya beragamnya pendapat tentang halal haramnya suatu produk makanan dan minuman. “Khilafiyah biasa terjadi dalam beragama”. “Perbedaan penafsiran tidak akan membuat bingung masyarakat. Masyarakat sudah bisa menilai sendiri terhadap mana yang benar”.
Rakyatnya cuek. Masa bodoh. Tak peduli tentang halal haram. “Dari pemantauan (pers) di kalangan pedagang diperoleh kesimpulan, bahwa mereka tidak sempat memikirkan halal atau haram sebuah barang, pembeli pun begitu. Baginya yang penting bisa makan”. “umumnya pelanggan tidak ada yang menanyakan haram atau tidaknya apa yang dijual”. “Dari pengamatan (pers), masyarakat (Penjual dan pembeli) nyaris tak mempersoalkan haram atau halal apa yang dijual di warung-warung”. “Hanya sebagian (sedikit) saja yang peduli terhadap masalah halal haram” (PADANG EKSPRES, Kamis, 11 Januari 2001, hal 1, 6).
Tugas kewajiban para ulama, da’i, penceramah lah untuk menyeru, menghimbau, menyeru, menuntun, membimbing generasi cuek ini menjadi generasi peduli (terhadap halal dan haram) melalui semua wahana dan sarana dakwah, baik melalui taklim, khutbah, buletin dakwah, media cetak, mapun media elektronik seperti radio dan televisi.
Ulama, da’i, penceramah yang akan ikhlas mengemban tugas risalah ini hanyalah yang mampu menyatakan “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam (QS 26:109, 127, 145, 164, 180). Yang sanggup menegaskan “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih” (QS 76:9).
3 Biang Perpecahan
Islammengingatkan agar senantiasa memelihara, menjaga keutuhan, kekompakan, kesatuan ummat. Allah berfirman “Dan berpeganglah kamu semuanya ke pada agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS 3:103).
Islam mengingatkan agar senantiasa waspada terhadap benih perpecahan, benih kehancuran ummat. Antara lain dan yang paling berbahaya adalah cinta dunia. Cinta dunia, berebut harta, kekayaan, kedudukan, jabatan, pangkat, pengaruh, ketenaran akan menimbulkan perpecahan, keretakan, kehancuran kesatuan ummat. Rasulullah bersabda “Demi Allah, bukan kemiskinan yang saya kuatirkan atas kamu, tetapi saya kuatir kalau terhampar luas bagimu dunia ini, sebagaimana telah terhampar pada orang-orang yang sebelum kamu, kemudian kamu berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba sehingga membinasakan kamu sebagaimana telah membinasakan mereka” (HR Bukhari dan Muslim dari Amru bin “Auf al-Anshari). Cinta dunia melemahkan, menghilangkan kekuataan persatuan, sehingga meskipun banyak jumlahnya, tapi sudah semacam buih di atas air, sudah tak berdaya, sudah tak diperhitungkan orang lagi.
“Hampir tiba masanya, bahwa kamu akan dikeroyok oleh bangsa-bangsa sebagaiamana orang-orang yang hadir dalam pesta jamuan makan memperebutkan hidangan yang disediakan bagi mereka. Bilangan jumlah kamu did waktu itu adalah banyak mayoritas, tetapi kamu tak ubahnya dengan air buih di kala banjir. Allah akana mencabut rasa ketakutan dari dada musuh-musuhmu dan sealiknya Dia akan lemparkan ke dalama hati-hati kamu penyakit “lebih mementingkan dunia” (cinta dunia dan gentar menghadapi risiko mati” (HR Abu Daud dari Tsauban).
“Apabila khazanah-khazanah perbendaharaan Persia dan Romawi telah dapat kamu kalahkan, kamu waktu itu akan salaiang berebut-rebutan, saling dengki-mendengki, kemudian saling bertolak belakang dan benci-membenci” (HR Muslim dari Abdullah bin Umar).
“Terimalah pemberian selama ia merupakan pemberian. Tetapi bila ia telah berubah menjadi sogokan terhadapa agama, maka janganlah kamu ambil pemberian itu”. “ketahuilah, jika Islam itu beredar di suatu daerah, maka hendaklah kamu beredar bersama islama itu ke mana saja dia berada”. ‘ketahuilah bahwa al-Qur:an dan Sultan (penguasa) akan bersimpang jalan pada suatu waktu, maka dari itu janganalah engkau berpisah dengan al-Qur:an itu”. “ketahuilah bahwa suatu waktu kamu akan diperintah oleh amir-amir (pejabat-pejabat) yang menyesatkan. Mereka memerintah untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan kamu. Jika kamu taati mereka, mereka menyesatkan kamu, dan jika kamu durhakai mereka, mereka akan menyiksa kamu”. “Sesungguhnya mati dalam menta’ati Allah lebih baik dari pada hidup mendurhakai Tuhan” (KH Firdaus AN : “Detik-Detik Terakhir kehidupan Rasulullah’, 1983:131-154).
Masih pada masa Rasulullah, yaitu ketika dalam Perang Uhud, sebagian ummat tergoda akan dunia. Mereka mengumpulkan, mengheduk harta rampasan perang habis-habisan. Tak seoangpun yang membiarkan pa saja yang dapat mereka ambil. Banyak ataau sedikitnya harta rampasan yang dapat dikumpulkan dijadikan sebagai ukuran bagi keberanian dan ketangkasan seorang perajurit. Akibatnya pasukan jadi centang perenang, persatuan jadi terpecah belah, berjuang, berperang dengan bercerai berai
Pada masa Khulafaur-rasyidin, dengan dalih menuntut bela kematian Khalifah Usman bin Affan, sebagian ummat tergoda akan rayan kedudukan. Terjadilah perpecahan, keretakan persatuan ummat. Terjadilah bentrokan fisik yang menumpahkan darah puluhan ribu ummat. Penyebabnya karena sebagian ummat telah berebut kedudukan untuk menjadi penguasa. Kedudukan sudah dijadikan ukuran kemuliaan.
Islam sangat tak menyukai berkompetisi, berlomba, bersaing dalam berebut keduniaan, kekayaan, kedudukan, ketenaran, pengaruh. Sebaliknya Islam menyeru untuk berlomba dalam kebaikan, dalam menebar jasa, dalam melakukan amal sosial, kegiatan umum. Allah berfirmann “Ingatlah ketika kaum Qarun berkata kepadanya : Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianaugerahkan Allah ke padamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik ke pada mu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS 28:76-77).
Termasuk dalam benih perpecahan adalah berbantah-bantah. Salah satu faktor penyebab lemahnya, retaknya, rusaknya persatuan adalah perbantahan. Akibat perbantahan ini ummat terpecah berkeping-keping. Ada yang Suni, Syi’ah, Khawarij. Masing-masing terpecah lagi menjadi pecahan yang kecil-kecil. Sejarah mencatat bahwa Khawarij misalnya memiliki kekuatan. Tetapi juga memiliki senang berbantah, berdebat, berdiskusi sehingga mereka terpecah belah hancur berantakan. Andaikata tidaklah terjadi perbantahan dalam kalangan mereka sendiri, maka besar kemungkinan kaum Khawarij akan memegang tampuk kekuasaan. Demikian pandangan pengamat sejarah.
Islam mengingatkan akan bahaya berbantah ini terhadap keutuhan kesatuan ummat. Allah berfirman “Dan janganlah kamu berbantah-bantah, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan dan bersabarlah” (QS 8:46). Islam mengajarkan agar mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya, tidak berbantahan, karena perbantahan itu akan menyebabkan terjadinya kelemahan, hilangnya kekuatan. Diperlukan kesabaran, menahan diri (QS 8:46). Larangan perbantahan ini juga tersirat dalam QS 18:27. Juga dari pesan Rasulullah agar menjauhi perbuatan bersilat lidah, bersilang kata, debat-mendebat, karena itu tidak berguna, tidak akan menolong di Hari Kiamat, bahkan akan menimbulkan kerugian, mendatangkan dosa. Rasulullah menjamin suatu tempat di surga bagi yang meninggalkan perbantahan, perdebatan, meskipun ia benar. “Tinggalkanlah perbantahan, perdebatan, sesungguhnya Allah melarang berdeat setelah larangan penyembahan berhala”.
Memang watak asli manusia itu adalah suka membantah. “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah” (QS 18:54). Dalam hubungan ini, Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya membawakan suatu kisah yang disampaikan oleh Imam Ahmad. Diberitakan bahwa suatu malah Rasulullah membangunkan mantu beliau Ali bin Abi Thalib dan isterinya Fatimah puteri Rasulullah untuk bangun melakukan shalat. Ali bin Abi Thalib menyambut seruan Rasulullah dengan mengemukakan bantahan bahwa dirinya berada dalam genggaman Allah. Jika Allah menghendaki, maka Dia akan membangunkannya (untuk shalat). Demikian kisah pendek berkaitan dengan watak manusia yang suka membantah.
Jika memang terpaksa harus berbantah, Islam mengajarkan agar mengembalikannya ke pada Allah dan Rasul-Nya (QS 4:59). Jika masih saja belum hilang perbantahan, serahkan diri ke pada Allah. Mudah-mudahan Allah memperbaiki, mempersatukan hati, mempersaudarakan, menyelamatkan dari pertikaian, perpecahan. Setelah hati dipersatukan Allah, pelihara dan tetaplah berperang pada tuntunan Allah, dan jangan lagi bertikai, berpecah (QS 3:103).
Perbedaan lahan garapan adalah untuk saling menunjang (ta’aruf) dan bukan untuk saling bersilang (tafarruq). Sehingga ada yang berjuang menempuh jalur politik/kekuasaan (pemerintahan), jalur perbaikan ekonomi dan iptek, jalur pembentukan jama’ah (imamah, imarah) dan penggalangan persatuan (ukhuwah wathaniyah wahidah), dan lain-lain.
Ada yang menciptakan kesempatan, ada yang menunggu timing (waqtiyah) Menurut M.Natsir “Semata-mata banyaknya jumlah organisasi-organisasi Islam itu saja belum berarti suatu “perpecahan” Ummat Islam” (“Mempersatukan Ummat”, 1983:15).
Semuanya berangkat, bertolak dari prinsip (mabda, asasiyah) yang sama, dan sama-sama menuju terwujudnya ‘izzul Islam wal Muslimin. Diperlukan saling nasehat-menasehati. Seandainya terpaksa juga berbantah, di lakukan dengan cara-cara yang santun, simpatik, bermutu, dengan sikap lemah lembut, suka mema’afkan, suka membaur (berjama’ah, bukan munfarid/menyendiri), suka menghargai semua pendapat (bermusaywarah, berjiwa demokratis) (QS 3:158).
Salah satu biang (pemicu) pertengkaran, perselisihan, perpecahan, perkelahian adalah mulut. Mulut kamu adalah harimaumu yang akan merekah kepalamu. Islam mengingatkan akan bahaya mulut itu, serta menunjukkan jalan untuk menghindarinya. Hal ini antara lain tertera dalam QS 49:6,11,12. Dalam menghadapi yang berlainan kepercayaan dan keyakinan, Islam berpesan agar jangan menghinakan sembahan mereka (QS 6:108). Jangan berdebat, kecuali dengan cara yang paling baik (QS 29:46).
Perpecahan, pertikaian, silang sengketa bisa pula terjadi disebabkan oleh pihak luar yang menyusup ke dalam, semacam ulah Abdullah bin Saba dan Abdullah bin Ubay dalam kasus Peang Uhud, dan kemudian dalam Perang Jamal (Peranb Berunta). Lobi dan manuver politik yang dilancarkan oleh kedua Abdullah itu adalah untuk melemahkan, memecah belah umat. Bagi Abdullah bin Saba “Sesungguhnya kunci keberhasilan kalian adalah menghasut masyarakat. Jika kalian bertemu mereka, maka kobarkanlah peperangan. Jangan biarkan mereka bersatu” (SABILI, No.16, Th VIII, 31 Januari 2001, haal 12).
Pokok pangkal persatuan yang utama adalah tunduk patuh ta’at pada penguasa, baik dalam hal yang disetujuai, maupun dalam hal yang tidak disetujui, baik dalam berat maupun ringan, baik dalam mudah maupun sukar, selama tak diperintah berbuat maksiat. Tapi bila disuruh berbuat maksiat, maka tidak ada lagi kewajiban mendengar dan ta’at. Dan sabar menghadapi penguasa yang tidak disenangi, karena Allah akan menghinakan orang yang menghinakan penguasa. Kewajiban hanya melaksanakan tugas, sedangkan mengenai hal yang menjadi hak harapkanlah ke pada Allah.
4 Persatuan senasib
Persatuan yang ingin kita galang- kata Dahlan Ranuwihardjo, Ketua Umum Panita Peringatan 100 Tahun Bung karno – bukan basa basi, bukan simbolik, bukan formil-formilan, bukan gado-gado, melainkan riiil, yang dilandasi oleh pegangan dan keyakinan yang sama. Rakyat yang dihisap tentulah tidak dapat bersatu dengan para penghisap, rkyat yang kepentingan penghidupannya sehari-hari diabaikan dan diterlantarkan tentulah tidak dapat bersatu dengan mereka yang bertanggungjwab atas keterpurukan penghidupan rakyat (RAKYAT MERDEKA, Senin, 5 maret 2001, hal 16, Humor Revolusi 1).
Namun persatuan itu ada yang alami, natural, dan adea pula yang artifisial. Di dalam sosiologi terdapat Gemeinschaft dan Geselschaft. Gemeinschaft adalah komunitas alamiah, berdasarkan rasa solidaritas (rasa senasib), rasa kolektivitas (rasa hidup bersama), tumbuh berdasarkan kesamaan dan persamaan bahasa, kesusilan daan agama, adat kebiasaan, budaya, bersifat kompak, tetap. Geselschaft adalah komunitas buatan (artifisial), tumbuh karena suatu tujuan bersama, berdasarkan organisasi rasional, berdasarkan kerjasama, bersifat longgar.
Persatuan alami itu terkait pada perasaan senasib. Ketika memaparkan Dasar kebangsaan sebagai Dasar Pertama Negara Indonesia, dalam sidang BPUUPKI, 1 juni 1945, Ir Soekarno mengutip Ernest Renan (bahwa bangsa itu adalah gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu), otto Bauer (bahwa bangsa itu adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib), yang dipandang Mr Yamin “sudah tua”, dan menganitkannya dengan Ki Bagoes Hadikoesoemo, Moenandar (bahwa persatuan itu antara orang dan tempat, antara manusia dan tempatnya).
Persatuan senasib itu mempunyai tenggang waaktu tertentu secara periodik. Dalam Islam “tiap-tiap bangsa mempunyai batas waktu kejayaan atau keruntuhannya” (QS 7:34). Persatuan senasib itulah yang menentukan se-bangsa, se-tanah air. Dengan berubahanya persatuan senasib itu, maka berubah pula batas-batas se-bangsa, se-tanah air. Keinginan sebagian penduduk Indonesia untuk memisahkan diri dari Negara kesatuan Indonesia, tak terlepas dari perubahan persatuan senasib itu, karena mereka merasa tak lagi senasib dengan yang lain, bahkan diterlantarkan oleh yang lain.
Persatuan artifisial lebih cepat rontoknya dari perssatuan natural. Konflik, bentrok fisik berdarah antar etnis, antar suku mengindikasikan persatuan artifisial, bukan persatuan natural. Persatuan artifisial hanya bisa bertahan selama sang pemersatu memegang kendali kekuasaan. Soekarno, Soeharto, Gajahmada, Tenno heika, Hitler, Napoleon, Karel V, Machiavelli, Darius, Jengiz khan, Aleksander Agung adalah di antra tokoh-tokoh pemersatu bangsanya di jamannya. Ada yang berupa menciptakan Nusantara Raya, Asia Timur Raya, Mongolia Raya, Jermania Raya, Syria Raya, Serbia Raya, Siberia Raya, dan lain-lain. Napoleon dan Hitler telah gagal dalam percobaannya menempa Eropa menjadi satu (Prof Dr Rabu F Berling : “Perumbuhan dunia Modern’, jilid I, hal 31).
5 Penguasa tetap penguasa
Wajah, muka penguasa, pemerintah bisa saja silih berubah, bertukar, berganti. Bentuk, corak negara, pemerintahan pun juga bisa saja silih berubah, bertukar, berganti. Tapi mentalitas, pola pikir penguasa, pemerintah tetap saja sama, tidak berubah. Sesuai dengan namanya, dengan maknanya, penguasa berarti yang berkuasa, yang berdaulat, yang memegang kedaulatan, yang harus didengarkan suaranya. Dan pemerintah berarti yang memerintah, yang mengeluarkan perintah, yang harus dilaksanakan perintahnya. Dalam dirinya, penguasa, pemerintah cenderung bersikap arogan, feodalis, non-demokratis, haus akan sanjungan, pujian, elusan, eluan. Lebih senang dengan sapaan Seri Paduka, Yang Mulia (His majesty), Bapak dari pada sapaan Saudara. Siapa pun penguasa, ia akan senantiasa mempertahankan kedudukan, kekuasaanya. Ia akan menempatkan kroni-kroni kesayangannya di sekitar pusat kekuasaanya, dan mendepak orang-orang yang ia pandang dapat menggerogoti kekuasaanya. Watak, karakter dasar penguasa, pemerintah pantang disolang, tak senang disanggah, dibantah, dikecam, dikritik, diprotes, dikoreksi. Risiko bagi yang melakukannya adalah dipecat, diberhentikan dari jabatannya. Apakah itu Namruz, Fir’aun, Caesar, Nero, Jengizkhan, Hitler, Mussolini, Lenin, Stalin, Nasser, Soekarno, Soeharto, atau siapa pun. Ginanjar Kastasasmita pernah mengemukakan bahwa untuk menjadi ahli politik harus membawa “mein Kampf’ dari Hiler (juga termasuk membaca “Il Principe” dari Machiaveli). Dan untuk menajdi seorang ekonom yang baik, paling tidak harus pernah membaca “Das Kapital” karya Karl Marx (KOMPAS, Selasa, 30 Mei 1995). Itulah yang menjadi Kitab Suci-nya para penguasa, pemerintah. Agar kekuasaan dapat langgeng lestari, menurut para normal, maka penguasa tersebut haruslah diruwat.Watak dasar penguasa itu memang cenderung mengarah pada otokrasi (berlindung di balik hak prerogatif), bukan pada demokrasi (lebih mengutamakan HAM). Kebijakan dan pernyataan sepihak tanpa bekonsultasi, tanpa mendengarkan suara wakil rakyat, menunjukkan indikasi ke arah itu. Yang demokrat itu bukanlah yang duduk dalam Forum Demokrasi secara formal, tetapi yang dalam praktek kehidupan sehari-hari lebih demokratis, lebih mendengarkan suara rakyat, bukan lebih menguasai rakyat.
Ada penguasa, tokoh eksekutif semacam Abdurrahman Wahid yang mempunyai metodologi penyelesaian masalah (problem solving) yang sangat tidak lazim. Alih-alih mencari solusi masalah, Wahid cenderung mengubur masalah dengan cara menampilkan masalah lain. Ini tipikal pola pikir seorang kolumnis, yang setiap menghadapi tenggat waktu mengisi kolomnya di media cetak, masalah baru harus dilontarkan, tanpa keharusan dan tanggungjawab untuk memecahkan masalahnya serta mengimplementasikannya. Keahlian dan track record Wahid adalah sebagai pelontar gagasan dengan kata lain : raising problem (memunculkan persoalan) dalam bentuk tulisan maupun orasinya yang memikat. Namun Wahid tidak memiliki pengalaman eksekutif, kecuali management tradisional ala pesantren di PB NU. Ada lagi penguasa, tokoh eksekutif semacam Megawati Soekarnoputri yang cenderung menghindari masalah, baik dengan cara menghemat bicara dan menyatakan pendapat maupun dalam bertindak. Megawati adalah safety player dalam kutub yang palaing ekstrim yang berpegang pada adagium : bertindak itu perak dan tidak bertindak itu emas (HM Surya Tantara R : “Pertemuan Elite Politik. Efektifkah Meredam Bala ?”, REPUBLIKA, Sabtu 17 Feburari 2001, hal 6 : Opini).
Tokoh-tokoh legislatif semacam Amien Rais dan Akbar Tanjung punya kewajiban moral dan politik untuk selalu menuntun (bukan menuntut) tokoh-tokoh eksekutif semacam Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri agar senantiasa berada pada jalur yang benar. Islam memberikan panduan bahwa yang benar, yang baik itu adalah semua perbuatan yang menimbulkan ketenangan hati, ketenteraman jiwa, sedangkan yang salah, yang buruk itu adalah semua perbuatan yang menimbulkan keraguan hati dan kegelisiah jiwa. Untuk dapat menentukan apakah itu baik, benar, ataaukah buruk, salah, tanyakan pada hati nurani. Entah kalau hati nurani sudah tidak ada lagi.
Kepada tokoh-tokoh legislatif, Islam mengingatkan bahwa “seutama-utama jihad adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa, tokoh eksekutif yang jair”, karena sangat riskan (berisiko tinggi). Penyampaiannya haruslah dengan santun, ‘layyinaa’ agar ia sadar dan mau kembali pada yang benar (QS 20:44), agar tidak lagi menjadikan warga terpecah belah antara yang pro dan kontra (QS 28:4). Islam memberikan panduan untuk senantiasa tunduk patuh ta’at pada penguasa, tokoh eksekutif dalam semua hal, baik disetujui maupun tidak setujui, selama tidak diperintah melakukan kemaksiatan. Tapi bila disuruh berbuat maksiat, maka tidak ada lagi kewajiban untuk tunduk patuh dana ta’at. Tetap tunduk patuh ta’at dalam berat dan ringan, dalam mudah dan sukar, bahkan dalam suasana berebut pengaruh (konflik kepentingan). Masing-masing punya kewajiban sendiri-sendiri yang harus dipertanggungjawabkan. Laksanakan kewajiban dan minta hak kepada Allah. Sabar menghadapi tindakan penguasa, tokoh eksekutif . Islam mengingatkan bahwa “siapa yang menghina penguasa, maka Allah akan menghinakannya”. (Bks 10-11-1999).
6 Menanti Budi Kembali
REPUBLIKA, Senin, 8 November 1999, di hal 16 tampil dengan judul “Budi Pekerti akan Kembali Diajarkan di Sekolah”, berkenaan dengan gagasan Mendiknas Dr H Yahya Muhaimin. KOMPAS, Senin, 23 Oktober 1995, di hal 4 dan 5 menyajikan antara lain tentang posisi dan fungsi dari PENDIDIKAN BUDI PEKERTI. BUDI LUHUR yang AMAT IKHLAS sudah hampir tak dikenal lagi (Satyagraha Hurip : KOMPAS, Minggu, 2 April 1995, cerpen “Surat Undangan”. Banyak orang yang sudah kehilangan hati nurani (Ade Armando : REPUBLIKA, Sabtu, 17 Februari 2001, Resonansi).
Masyarakat saban waktu dihadapkan pada kecenderungan demoralisasi, kebringasan sosial, tindak kekerasan (violence), perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, penjambretan, korupsi, kolusi, monopoli, tontonan-bacaan-hiburan yang non-edukatif, dan lain-lain tindak kesadisan dan kebrutalan (KOMPAS, Senin, 23 Oktober 1995).
Untuk membentuk masyarakat yang memiliki BUDI PEJERTI diperlukan kesadaran dan keterlibatan berbagai pihak sebagai panutan keteladanan (tuntunan dan tontonan), baik dari kalangan dunia pendidikan (formal maupun informal)), penerangan (koran, radio, televisi, film), sosial-budaya (olahraga, kesenian, kepariwisataan), hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, kehakiman), politik (kebijaksanaan, peraturan, perundang-undangan), dan lain.lain.
Dalam agama Budha terdapat delapan suruhan (astavidha) untuk hidup yang benar : 1. Berpandangan hidup yang benar, 2. Berpikir yang benar, 3. Berbicara yang benar, 4. Berbuat yang benar, 5. Berpenghidupan yang benar, 6. Berusaha yang benar, 7. Berperhatian yang benar, 8. Berkonsentrasi yang benar. Juga terdapat sepuluh larangan (dasasila), yaitu : 1. Tidak boleh menyakiti atau mengganggu sesama makhluk, 2. Tidak boleh mengambil apa saja yang tidak diberikan, 3. Tidak boleh berzina, 4. Tidak boleh berkata dusta, 5. Tidak boleh minum yang memabukkan, 6. Tidak boleh makan tidak pada waktunya, 7. Tidak boleh menghadiri atau menonton kesenangan duniawi, 8. Tidak boleh bersolek, 9. Tidak boleh tidur di tempat yang enak, 10. Tidak boleh menerima hadiah (Nugroho Notosusanto dkk : “Sejarah Nasional Indonesia” untuk SMP, jilid 1, 1979:60-61; KARTINI, No.406, 24 Juni 1990, hal 80).
Dalam “Perjanjian Lama”, pegangan Yahudi dan Nasrani, dalam Kitab Keluaran (Exodus) 20:1-17 terdapat Dekalog, The Tenth Commandemen, sepuluh perintah Tuhan, agar : 1. Hanya menuhankan Allah, tidak menuhankan selain Allah, 2. Tidak membuat patung, tidak bersujud pada patung, 3. Tidak mmenyebut nama Tuhan dengan sia-sia, 4. Menghormati, mensucikan Hari Sabat, 5. Menghormati ibu-bapa, 6. Tidak membunuh, 7. Tidak berzina, 8. Tidak mencuri, 9. Tidak meminta kesaksian dusta, 10. Tidak menginginkan milik sesama. Namun Agama Katholik – menurut Eddy Crayn Hendrik (kini Muhammad Zulkarnain) – kemudian merombaknya, dengan menghilangkan hukum yang menyangkut larangan pembuatan patung. Agar tetap sepuluh perintah, maka hukum larangan berzina dijadikan dua larangan, yaitu larangan membuat pekerjaan cabul, dan larangan mengingini pekerjaan cabul (Eddy Crayn Hendrik : “Muhammad Dalam Kitab-Kitab Suci Dunia”, 1993:16-17, Prof Dr Hamka : “Tafsir Al-Azhar”, juzuk VIII, 1982:134-135).
Kesopanan Tinggi Secara Islam – menurut A Hassan Bandung – mencakup : 1. Kesopanan Manusia terhadap Tuhan, 2. Kesopanan Ummat terhadap Nabi, 3. Kesopanan Anak terhadap Ibu-Bapa, 4. Kesopanan Anak-Anak terhadap Orangtua-Orangtua, 5. Kesopanan Manusia terhadap Ulama, 6. Kesopanan Orang terhadap Tetangga, 7. Kesopanan Manusia dalam Rumah Tangga (Kesopanan Manusia terhadap Keluarga). Barangkali A Hassan lupa, bahwa ada lagi Kesopanan Manusia terhadap Alam Semesta.
Pribadi Seorang Muslim – menurut Dr Muha mmad Ali al-Hasyimi – mencakup : 1. Perilaku terhadap Tuhan, 2. Perilaku terhadap diri sendiri, 3. Perilaku terhadap orangtua, 4. Perilaku terhadap pasangan, 5. Perilaku terhadap anak-anak, 6. Perilaku terhadap keluarga, 7. Perilaku terhadap tetangga, 8. Perilaku terhadap teman, 9. Perilaku terhadap masyarakat (Dr Muhammad Ali al-Hasyimi : “Menjadi Muslim Ideal”, 1999:4).
Harakah Islam mendambakan tahapan dakwah yang dimulai dari pembentukan syakhsiah islamiyah (pribadi Muslim), kemudian usrah muslimah (keluarga Muslim), setelah itu mengarah kepada ijtima’iyah al-islamiyah (masyarakat Islami), yang sasarannya menuju kepada daulah islamiyah (negara Islami) dan ditutup dengan membentuk khilafah islamiyah (Pergaulan Dunia Islami).
Islam telah menyiapkan tuntunan, panduan BUDI PEKERTI untuk semua kalangan, untuk aparat pemerintah, penegak hukum, alat negara, pengusaha, teknokrat, budayawan, ilmuwan, karyawan, rakyat, dan lain-lain, untuk menjadi manusia yang manusia, bukan jadi homo homini lupus, exploitation de l’home par l’home. Antara lain terhimpun dalam “At-Targhib wat-Tarhib”, susunan al-Mundziri, “Riyadhush-Shalihin”, susunan Imam Nawawy, yang ringkasannya dalam “Keutamaan Budi Dalam Islam”, oleh Muhammad Fadloli HS (M Hasbi ash-Shiddieqy : “Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits”, 1953:55).
7 Penegakkan Syari’at Islam
Di Pakistan, pemerintahnya siap untuk menerapkan syari’at Islam, namun rakyatnya tidak. Di Aljaza ir rakyatnya siap, tapi penguasanya tidak. Di Afghanistan, baik rakyat mapun penguasanya sama-sama tidak siap. Semua berakhir pada kehancuran dan ke kacauan. (Bagaimana di Turki, di Indonesia, dan lain-lain ?).
Di Trengganu, Malaysia, awalnya banyak yang meragukan, namun setelah berjalan ternyata sukses dan banyak kalangan non-Muslim yang menaruh simpati ( H Anang, Wakil Ketua DPC PBB Tasikmalaya : SABILI, No.7, Th.VIII, 20 September 2000, hal 21).
Di Tasikmalaya, setiap Jum’at dilaksanakan program aksi Jum’at Bersih, untuk menciptakan ketenangan beribadah bagi jama’ah shalat Jum’at. Guna menegakkan syari’at Islam dibentuk Gerakan Nahi Munkar (SABILI, No.7, TH.VIII, hal 19).
Di Minangkabau, sebelum Perang Paderi (1821-1837), pada tiap-tiap negeri ada Tuanku Imam yang mengurus hal-hal yang bersangkutan dengan agama, dan Tuan Kadi yang menjaga supaya jangan terjadi pelanggaran dan menghukum orang yang berani melanggarnya. Hukum-hukum yang ditetapkan antara lain, bahwa laki-laki yang mencukur janggut didenda dua suku. Mengasah gigi didenda seekor kerbau. Tidak menutup lutut (aurat) didenda dua suku. Perempuan tiada menutup muka didenda tiga suku. Memukul anak didenda lima suku. Meninggalkan shalat didenda lima real; kalau telah dua kali dihukum bunuh. Tuanku Nan Salapan (Walisongonya Minangkabau) menyusun pemerintahannya pada tiap-tiap n egeri yang dikuasainya, menjalankan segala hukum-hukum itu. Penghulu-penghulu (tokoh-tokoh masyarakat) dan orang-orang yang tidak sesuai dengan aliran Tuanku Nan Salapan menentang dengan hebat hukum-hukum itu, sehingga terjadilah huru-hara dan kerusuhan dalam negeri. Terjadi pertentangan antara kaum agama dan kaum adat, antara ulama dan penghulu (Prof H Mahmud Yunus : “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”, 1983:30). (catatan ; Suku dan real adalah satuan mata uang di waktu itu di Minangkabau).
Di Giri, Gresik, pada masa Walisongo Suan Giri, pelaksanaan syari’at Islam di bidang ibadah dan tauhid mengikuti tuntunan yang dijelaskan dalam Kitab Al-Qur:an dan Sunnah Rasul. Tidak berkompromi dengan ajaran-ajaran lain, seperti Hindu, Budha, animisme, dinamisme. Gerakan Sunan Giri yang juga didukung oleh Sunan Ampel, Sunan Dradjad dipandang kolot, ekstrim, tidak mengerti sikon, tidak bisa beradaptasi dengan masyarakat, tidak bijaksana (Umar Hasyim : “SunanGiri” 1979:46).
Manusia dan masyarakat Muslim “modern” menjumpai di dalam dirinya berbagai unsur : naluri etnik, sisa sel-sel Budha-Hindu, kelenik-klenik tradisional, pilahr-pilar hukum Islam, jurus-jurus sekularisme, serta berbagai “kewajiban” untuk hidup “secara Barat”. Suatu gerakan swadesi dalam Islam pernah ingin “membersihkan” itu semua dan memilih satu halo yang disebut “pemurnian” Islam atau “kembali kepada Al-Qur:an dan Sunnah”. Sayangnya proses “perasionalan” kehidupan agama itu kurang dilandasi pemahaman dan kesadaran mengenai proses-proses budaya manusia dan masyarakat. Maka yang diberantas pada umumnya adalah “bentuk-bentuk budaya” dan bukannya pemahaman dan sikap terhadap bentuk-bentuk itu. Di tengah-tengah dunia sekularistik, (kiranya) Muhammadiyah, serta berbagai badan Islam lainnya, memulai usaha memasukkan ruh Islam ke berbagai kegiatan hidup (Emha Ainun Nadjib : ” Surat Kepada Kanjeng Nabi”, 1997:209,215, Pusat Kebudayaan Muhammadiyah).
Di pasar-pasar kuno yang tertutup di Syam (Syria lama)) para pedagang dengan satu jenis barang dagangan berkumpul bersama. Ketika seorang pembeli lebih dulu mendatangi salah satu dari mereka dan membeli sesuatu, kemudian lalu (lewat) datang pembeli kedua – dan pedagang sebelahnya belum berhasil menjual dagangannya – maka dia berkata dengan ramah tamah kepada calom pembeli (kedua) : “Terus (lewat) saja dan belilah dari (pedagang) sebelah saya, karena dagangan saya sudah laku, sedang punya dia belum (laku)” (Dr Muhammad Ali Al-Hasyimi : “Menjadi Muslim Ideal”, 1999:213).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar